Aturan ZONASI langgar hak azasi dan Tidak ber-keadilan ?
Oleh :Yudha Hamzah
Berbicara tentang pendidikan di Indonesia seolah tidak mengenal kata selesai. Disebabkan oleh pesimisnya masyarakat atas kebijakan kebijakan pemerintah. Mulai dari perubahan kurikulum yang menjadikan para peserta didik sebagai kelinci percobaan samapi kepada penyaluran dana BOS yang selalu berubah proses penyaluran dan aturan aturannya. Sampai kepada PSB (Penerimaan Siswa Baru) yang terlalu dramatis.
Kursi di sekolah negri itu terbatas, karena itu harusnya di isi oleh orang orang yang mempunyai potensi akademik terbaik bukan dengan penilaian rumah terdekat dengan sekolah ataupun kondisi ekonomi terburuk. Dalam hal ini tidak ada kolerasi antara wilayah atau zona dengan kemampuan akademik.
Jika kita melihat PSB (Penerimaan Siswa Baru) dengan menggunakan aturan yang sekarang ini berlaku, ada beberapa hal yang jelas jelas dilanggar oleh pemerintah karena usulan dari kementrian pendidikan yang nota bene adalah pembentuk bangsa ini kedepan disetujui oleh presiden.
Pertama, Pelanggaran hak azasi bagi siswa. Bagaimana tidak. Siswa dengan nilai akademik yang tinggi didalam satu wilayah tidak diterima di sekolah negri wilayah tersebut karena alasan zonasi, Saya berikan contoh dimana tempat saya tinggal hanya ada 1 SMA negri, sedangkan dalam satu kecamatan terdapat 13 desa, jangankan siswa dari desa yang lain, siswa didesa dimana sekolah tersebut berada pun tidak dapat diterima karena habis di isi oleh siswa dari 10 RW yang berdekatan dengan sekolah tersebut. Pertanyaannya adalah ini sekolah negri atau sekolah khusus 10 RW ?
Kedua, adalah pembunuhan karakter yang disengaja oleh peraturan kemendiknas. Selama ini digembar gemborkan tentang pembangunan karakter, akan tetapi disisi lain Kemendiknas melalui aturan zonasi ‘membunuh’ mental siswa yang berkemampuan akademik diatas rata rata. Bagaimana karakter bisa terbangun dengan rasa pasrah dari siswa yang frustasi. Ini berdampak kepada turunnya minat siswa untuk berkompetisi di sekolah karena merasa rumah mereka jauh dari sekolah negri dan mereka tidak usah terlalu pintar, toh juga mereka tidak masuk kesekolah harapan mereka.
Ketiga, tidak mencerminkan nilai nilai dari PANCASILA, khususnya sila ke 5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan dengan sila sila yang lain dapat kita tafsirkan masing masing. Tentu saja saya sebagai pakar BELEGUGOLOGI tidak harus memaparkan itu semua.
Sungguh miris jika kita melihat setiap tahun banyak dari anak anak kita yang merasa pasrah dan tidak bersemangat bahkan frustasi karena rumah mereka jauh dari sekolah yang mereka inginkan. Apakah Kemendikbud yang yang nota bene di isi oleh para pakar pendidikan tidak berfikir kesana ?
Hal hal tersebut diatas jelas mengurangi mutu pendidikan dinegara kita. Jika kita melihat sejarah, dulu Malaysia mengimport guru guru dari Indonesia, karena pada waktu itu pendidikan di Indonesia berada jauh di atas Malaysia, sedangkan sekarang ini Malaysia banyak mengimport PRT ( Pembantu Rumah Tangga) dari Indonesia. Apakah ini pertanda pendidikan di Indonesia menurun atau selera orang Malaysia menurun yang lebih menyukai PRT daripada guru ?
Sebagai mentri pendidikan, coba kita ajak Nadiem Makarim untuk berdiskusi tentang zonasi dan GOJEK hasil besutannya. Apakah para ojol akan menerima jika system zonasi diberlakukan untuk para ojol, tentu saja para pengemudi ojek online akan merasa terhimpit dan pasti akan meolak system zonasi.
Untuk kedepan, semoga saja kementrian pendidikan mendapatkan cara untuk berbagai variasi sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah atau tempat masyarakat dan lembaga pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesiapan para pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi peran dan kekuasaannya agar bisa menampung sumbangan partisipasi masyarakat. Sebaliknya dari pihak masyarakat juga harus belajar untuk kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan.